Sirah – Kehidupan Nabi Muhammad SAW memberikan teladan sempurna tentang manusia ideal bagi seluruh umat manusia. Al-Quran berulang kali menegaskan kemanusiaan Nabi, mengingatkan kita bahwa beliau bukan sekadar sosok spiritual, melainkan manusia yang diutus dengan misi Ilahi. Nabi sendiri mengakui hal ini dalam sabdanya: “Aku hanyalah manusia seperti kalian; aku bisa lupa sebagaimana kalian lupa. Maka, jika aku lupa, ingatkanlah aku.” Pernyataan ini menjadi pengingat mendalam tentang keseimbangan antara sifat kemanusiaannya dan peran agungnya sebagai Rasul terakhir Allah. Memahami keseimbangan ini penting agar kita dapat menghargai warisannya dan terhindar dari kesalahpahaman yang telah menyesatkan banyak orang.
Kaum Quraisy yang ingkar, seperti Abu Jahal dan Utbah bin Rabi’ah, gagal memahami hakikat ini. Mereka tidak mampu mencerna bagaimana seorang manusia biasa dengan segala kebutuhan duniawinya dapat dipilih secara ilahi untuk misi semacam itu. Mereka pun mengejek, “Mengapa Rasul ini makan makanan dan berjalan di pasar?”(QS. 25:7).
Keraguan mereka bersumber dari cara pandang mereka yang sempit terhadap kemanusiaan. Bagi mereka, jika Nabi makan, minum, dan hidup di tengah masyarakat, berarti ia pasti juga memiliki ambisi duniawi seperti kekuasaan, harta, atau kedudukan. Mereka tidak menyadari bahwa ada manusia yang mampu melampaui nafsu dunia dan bertindak murni karena Allah.
Berbeda dengan para Sahabat, seperti Abu Bakar as-Siddiq dan Umar al-Faruq (Radhiyallahu ‘anhum), yang memahami hakikat sejati kemanusiaan Nabi. Mereka sadar bahwa meskipun beliau seorang manusia, beliau adalah pilihan Allah yang memikul peran luar biasa sesuatu yang tak mungkin dipenuhi oleh manusia biasa. Nabi SAW sendiri diterangkan dalam firman Allah: “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa.'”(QS. 18:110).
Secara lahiriah, beliau memang seperti manusia biasa lainnya, tetapi wahyu yang dibawanya menjadikannya istimewa. Beban yang dipikulnya begitu berat hingga gunung pun tak sanggup menahannya: “Seandainya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, niscaya engkau akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah.” (QS. 59:21).
“Keistimewaan ini” tidak luput dari pengamatan para Sahabat, yang memandang kemanusiaan Nabi sebagai anugerah bagi dunia. Mereka tidak sekadar melihat beliau sebagai manusia, melainkan juga sumber keberkahan. Kehadirannya disucikan, bahkan tanah yang beliau pijak dianggap mulia. Para Sahabat mencari berkah dari segala yang terkait dengannya, termasuk air liurnya seperti yang diriwayatkan oleh Urwah bin Mas’ud sebelum ia memeluk Islam. Penghormatan ini berakar pada kesadaran mereka bahwa Nabi adalah pilihan Allah, sosok yang tak ada bandingannya.
Namun, para Sahabat pun terkadang perlu diingatkan tentang batas-batas kemukjizatan Nabi. Suatu ketika, Abdullah bin Amr bin al-Ash (Radhiyallahu ‘anhu) ragu mencatat semua Hadis Nabi setelah kaum Quraisy menyatakan bahwa beliau sebagai manusia bisa saja berbicara dalam keadaan marah atau senang. Ketika ia menyampaikan keraguannya, Nabi menegaskan: “Tulislah, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi memiliki emosi manusiawi, setiap ucapannya tetap dipandu oleh Allah.
Nabi Muhammad SAW telah dipersiapkan secara sempurna oleh Allah untuk perannya sebagai Rasul. Sebagaimana firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”* (QS. 2:286).
Kapasitas beliau yang luar biasa memungkinkannya memikul beban wahyu. Allah telah memilihnya jauh sebelum penciptaan alam, sebagaimana sabda Nabi: “Aku telah menjadi Nabi ketika Adam masih antara ruh dan jasad.” Misi kenabiannya adalah bagian dari rencana Ilahi untuk membimbing manusia menuju kebenaran.
Sebagai penutup, memahami kemanusiaan Nabi Muhammad adalah kunci untuk menghayati warisannya. Beliau adalah perwujudan manusia ideal, yang menyelaraskan kehidupan duniawi dengan kemuliaan spiritual. Kehidupannya menjadi pedoman bagi semua orang, membuktikan bahwa manusia bisa hidup secara normal sekaligus menjaga standar moral dan spiritual tertinggi. Melalui teladannya, kita diingatkan bahwa sifat manusiawi bukan penghalang untuk meraih keagungan. Justru, sebagaimana Nabi, kita pun bisa melampaui nafsu dunia dan mengabdikan hidup hanya untuk kebenaran dan keridhaan Allah. []