Polemik tentang gaji dosen kembali mencuat ke ruang publik. Angka-angka yang tersebar di media dan grup diskusi seolah menjadi tamparan kolektif terhadap kondisi riil para pendidik di perguruan tinggi, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Sayangnya, dalam hiruk-pikuk komentar dan kritik, suara dosen swasta kerap tenggelam. Seakan kami ini tidak pernah bersuara, atau lebih buruk lagi, dianggap tidak berani bersuara.
Padahal kenyataannya, kami tetap ada, bekerja dalam senyap, mengajar dengan cinta, dan menyalakan lentera ilmu di tengah keterbatasan.
Kesejahteraan dosen adalah fondasi utama bagi kualitas pendidikan. Ini bukan hanya soal pemenuhan hak normatif, tetapi juga soal menjaga keberlangsungan peradaban. Dosen bukan relawan, dan pendidikan bukan pekerjaan sambilan. Sayangnya, realitas di banyak kampus swasta masih jauh panggang dari api. Tidak sedikit dosen yang digaji ala kadarnya, bahkan ada yang belum menyentuh angka setara upah minimum.
Namun, penting untuk digarisbawahi: tidak semua PTKIS itu menindas. Masih banyak kampus yang berjuang keras untuk menjaga marwah pendidikan, meski dengan sumber daya yang terbatas. Banyak pula dosen yang bertahan bukan karena gaji, tapi karena panggilan hati dan tanggung jawab moral terhadap mahasiswa dan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks ini, kita perlu membangun perspektif yang lebih adil dan menyeluruh. Di satu sisi, yayasan penyelenggara pendidikan memang wajib memenuhi hak-hak dosen. Namun di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa yayasan bukanlah satu-satunya pihak yang harus menanggung beban. Negara harus hadir. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan yang nyata, bukan hanya pada institusi negeri, tapi juga swasta yang turut menyukseskan agenda pendidikan nasional.
Saat ini, para guru swasta sudah mendapat bantuan transfer dana rutin dari pemerintah pusat sekitar Rp300 ribu per bulan. Ini adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, mengapa perlakuan serupa belum diberikan kepada dosen-dosen swasta, terutama yang mengabdi di PTKIS? Padahal beban kerja mereka tak kalah kompleks dan kontribusinya sangat nyata. Ketimpangan ini sudah saatnya dijadikan isu nasional.
Sudah terlalu lama dunia pendidikan tinggi swasta dianggap anak tiri dalam kebijakan. Sudah terlalu lama dosen-dosen swasta “dipaksa” menggantungkan harapan pada yayasan, padahal kita semua tahu, banyak yayasan juga memiliki kepentingan dan keterbatasan sendiri. Maka perlu ada desain kebijakan baru yang menjamin keberlangsungan dan kesejahteraan dosen secara struktural, bukan sekadar tergantung pada niat baik pengelola kampus.
Jika pendidikan ingin menjadi instrumen keadilan, maka kampus—baik negeri maupun swasta—harus menjadi tempat pertama di mana keadilan itu ditegakkan.
Kepada para pemilik kampus swasta, ini juga saatnya melakukan refleksi. Jika kampus didirikan semata-mata demi proyek atau prestise sosial, maka lebih baik dihentikan. Pendidikan bukan lahan bisnis biasa. Ia menyangkut masa depan bangsa. Jika tidak mampu mengelola dengan adil dan manusiawi, maka lebih terhormat menyerahkan amanah ini kepada yang lebih mumpuni.
Kepada para pengkritik dari luar, kritik Anda penting. Tapi jangan lupa iringi dengan empati dan tawaran solusi. Kami tak butuh pembelaan kosong, tapi kami juga tidak layak dijadikan bulan-bulanan. Dalam diam, kami mengajar. Dalam keterbatasan, kami mencetak pemimpin.
Semoga dari kegaduhan ini lahir kesadaran kolektif, bahwa martabat pendidikan bukan hanya tanggung jawab dosen atau kampus, tapi tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa.
Oleh: Elbahri Spn Aceh
Dosen PTKIS