ACEHEDUKASI

Ketika Para Doktor Turun Gunung Jadi Penyuluh

Oleh: Elbahry Spn

Fenomena baru yang cukup menyedihkan tengah terjadi di dunia pendidikan tinggi keagamaan Islam swasta (PTKIS), dosen-dosen yang telah menempuh pendidikan tinggi hingga jenjang magister bahkan doktoral, kini berbondong-bondong mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) untuk formasi penyuluh agama yang hanya mensyaratkan ijazah S1. Dalam diam dan dengan wajah penuh beban, para intelektual kampus itu meninggalkan ruang-ruang akademik demi peluang pekerjaan yang lebih pasti, meski secara jenjang pendidikan, mereka “menurunkan derajat” diri mereka sendiri.

Pertanyaannya, mengapa harus demikian?

Padahal, para dosen ini tidak kekurangan kompetensi. Mereka punya kualifikasi, pengalaman mengajar, publikasi ilmiah, dan pengabdian yang tak sedikit. Namun semua itu seolah tak lagi berharga ketika berhadapan dengan realitas, profesi dosen di PTKIS, terutama yang berstatus non-ASN, adalah profesi yang kian kehilangan martabatnya, karena tak mampu menjamin kesejahteraan.

Realitas yang Tak Bisa Disangkal

Sebagian besar PTKIS di Indonesia menghadapi berbagai keterbatasan. Mulai dari sumber pendanaan, manajemen kelembagaan, hingga keterbatasan dalam akses ke program-program afirmatif pemerintah seperti peningkatan SDM atau kesejahteraan dosen. Akibatnya, dosen-dosen di lingkungan ini hidup dalam ketidakpastian. Banyak yang digaji per SKS, tanpa jaminan penghasilan tetap, belum lagi tunjangan dan fasilitas lain yang sangat minim atau bahkan nihil.

Lebih tragis lagi, ada kampus yang menunda gaji berbulan-bulan, membayar insentif seikhlasnya, dan memberikan beban administratif yang tinggi. Dosen menjadi multitasking: dari mengajar, mengurus akreditasi, menyusun borang, mendampingi mahasiswa, hingga menyusun proposal hibah yang jarang tembus. Tapi saat bicara soal kesejahteraan, suara mereka nyaris tak terdengar.

Bertahun-tahun mereka bertahan dengan idealisme bahwa mengabdi di kampus adalah jalan ibadah, ladang ilmu, dan investasi akhirat. Namun rupanya, perut tidak bisa diajak kompromi dengan narasi ikhlas belaka.

Ironi Gelar yang Terabaikan

Maka tak heran jika banyak dosen PTKIS kini rela “turun kasta”, mengikuti seleksi P3K penyuluh agama dengan hanya menggunakan ijazah S1 mereka. Gelar S2 dan S3 yang diperjuangkan dengan jerih payah dan biaya tinggi pun kini hanya jadi hiasan dinding. Ada yang menyimpan ijazahnya rapi-rapi di map plastik, ada pula yang mulai enggan menulis “M.A.” atau “Dr.” di belakang namanya.

Ini bukan soal gengsi, tapi soal bertahan hidup

Pekerjaan sebagai penyuluh agama memang tidak setara secara akademik dengan posisi dosen. Namun dari sisi finansial, status ASN kontrak (P3K) lebih menjanjikan, gaji tetap, tunjangan, dan pengakuan status sosial yang lebih baik. Maka tidak ada pilihan lain kecuali berbelok arah, bahkan bila itu berarti harus “merendahkan” latar belakang akademiknya.

Lalu, siapa yang salah?

Negara Harus Hadir

Dalam konteks ini, negara seharusnya tidak cuci tangan. Negara tidak boleh memalingkan wajah dari kenyataan bahwa pendidikan tinggi keagamaan Islam, khususnya swasta, adalah bagian penting dari pembangunan bangsa, dan dosen-dosen di dalamnya adalah agen perubahan dan penjaga nilai-nilai moral umat.

Jika negara begitu bersemangat menggelontorkan dana BOS untuk sekolah dasar hingga menengah, mengapa tidak dengan pendidikan tinggi swasta keagamaan? Jika ada kebijakan afirmatif untuk guru madrasah dan honorer Kementerian Agama, mengapa tidak untuk para dosen yang juga mendidik generasi muda umat Islam di tingkat perguruan tinggi?

Perlu ada reformasi kebijakan yang mendasar. mulai dari penataan pembiayaan kampus swasta, pembukaan formasi PNS atau P3K yang adil bagi dosen, hingga jaminan kesejahteraan minimal yang memungkinkan para dosen untuk tetap bertahan di dunia akademik tanpa harus berpaling ke sektor lain.

Cermin Buram Dunia Akademik

Fenomena “doktor jadi penyuluh” juga menunjukkan bahwa gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan masa depan. Ini adalah pukulan telak bagi dunia pendidikan tinggi. Ketika negara gagal menciptakan ekosistem akademik yang sehat dan adil, maka gelar akademik akan kehilangan makna sosialnya. Anak muda akan kehilangan semangat untuk melanjutkan pendidikan tinggi, karena tahu bahwa di ujung jalan, mereka bisa jadi hanya menjadi buruh akademik yang hidup pas-pasan.

Pada akhirnya, kita harus berani mengatakan bahwa sistem ini salah urus. Dunia akademik kita sedang sakit, dan para dosen PTKIS yang dulu jadi pilar penggeraknya kini pelan-pelan mundur dari gelanggang.

Epilog: Menghargai Ilmu, Menjaga Martabat

Kita tidak bisa terus menutup mata. Jika para dosen dengan gelar magister dan doktor pun akhirnya memilih jalan lain untuk bertahan hidup, maka yang kita hadapi bukan sekadar fenomena, tetapi gejala sistemik yang memerlukan intervensi serius. Negara harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai penyelamat martabat profesi dosen.

Ilmu pengetahuan tidak boleh kalah oleh logika pasar dan birokrasi yang beku. Dosen bukan relawan. Mereka adalah pilar bangsa yang layak dihargai dan diberi ruang untuk hidup layak. Jika tidak, maka jangan kaget jika suatu hari nanti, anak-anak kita hanya mengenal kampus sebagai tempat menumpuk gelar, bukan lagi sebagai rumah ilmu.

Dan di saat itu, kita baru akan sadar, betapa mahalnya harga dari sikap abai hari ini.

Meja Redaksi Seanteronews

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Load More Posts Loading...No more posts.