Oleh David Hearst
Sumber: Middle East Eye | Diterjemahkan dan disunting untuk kepentingan jurnalistik
Dalam episode terbaru “Gedung Putih di Atas Uber: Cara Membeli Presiden AS“, Presiden Donald Trump tampak sejenak membaca naskah yang benar. Saat berada di Arab Saudi, Trump menyebut intervensi liberal sebagai bencana dan ia benar. Gagalnya rekonstruksi di Rusia pascasoviet, Afghanistan, Irak, Libya, dan Yaman adalah buktinya.
Trump sempat menghentikan pemboman di Yaman dan berupaya mencabut sanksi terhadap Suriah, menggagalkan dua jalur penting Israel menuju dominasi regional: memecah Suriah dan mendorong perang dengan Iran. Namun, janji presiden AS kerap berbeda dari kenyataannya. Termasuk soal sanksi Suriah, yang tidak serta merta bisa dicabut karena terkendala undang-undang seperti Caesar Act dan peraturan eksekutif lainnya.
Langkah Trump juga mahal. Arab Saudi, UEA, dan Qatar menggelontorkan dana lebih dari $3 triliun, termasuk kesepakatan senilai $600 miliar dari Saudi, $1,2 triliun dari Qatar, dan proyek-proyek bisnis pribadi keluarga Trump.
Sementara parade kemewahan berlangsung di Teluk, Israel memperingati Nakba dengan menumpahkan darah di Gaza. Pada salah satu hari paling mematikan sejak gencatan senjata dilanggar secara sepihak oleh Israel, hampir 100 warga Palestina tewas akibat serangan udara. Salah satu target adalah Muhammad Sinwar, pemimpin Hamas di Gaza. Nasibnya masih belum dikonfirmasi.
Menurut sumber, Hamas sempat hampir mencapai kesepakatan dengan AS soal pertukaran sandera. Namun, Sinwar menolak kesepakatan tanpa jaminan penghentian perang. Bila benar ia tewas, Hamas harus membangun ulang jalur komunikasi dan komando.
Target Israel bukan hanya militer Hamas, melainkan kehancuran total terhadap Gaza dan rakyatnya. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tak lagi menutupi niatnya: memaksa eksodus massal lebih dari 2 juta penduduk Gaza melalui kelaparan dan pemboman sistematis.
PBB, Prancis, dan Spanyol mulai bersuara. Presiden Macron menyebut kebijakan Israel “memalukan”, sedangkan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez secara terbuka menyebut Israel sebagai “negara genosida”.
Namun para penguasa Teluk tetap bungkam. Tak ada kecaman dari Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, Presiden UEA Mohammed bin Zayed, atau Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad.
Bagi rakyat Palestina, ini bukan pengkhianatan pertama dari para pemimpin Arab. Sejarah mencatat mereka kerap meninggalkan Palestina di tengah penderitaan. Tapi skala pengabaian saat ini melampaui segalanya.
Meski Hamas dan Hizbullah mengalami pukulan berat, perlawanan tetap hidup. Militer Israel pun mengalami kerugian signifikan yang sengaja ditutupi. Para penjaga sandera belum menyerah. Semangat Gaza tetap menyala, seperti semangat rakyat Vietnam yang menumbangkan kolonialisme Prancis dan Amerika.
Jika diukur dari kekuatan destruktif, Israel menjatuhkan bom 275 ton per kilometer persegi di Gaza 18 kali lipat dari intensitas bom AS di Vietnam. Namun seperti Vietnam, kekuatan brutal belum tentu menghasilkan kemenangan politik.
Netanyahu kini menjalankan rencana “Kereta Perang Gideon”, memaksa jutaan warga Gaza ke “zona steril” di Rafah. Mereka hanya boleh masuk setelah pemeriksaan keamanan, dan takkan pernah diizinkan kembali ke rumah-rumah mereka yang telah dihancurkan.
Perang ini tidak hanya terjadi di tanah Palestina, tapi juga dalam kesadaran kolektif dunia Barat. Proyek Zionis tumbuh dari dukungan Barat dan kini mulai kehilangan fondasi itu. Opini publik di Eropa dan Amerika, baik kanan maupun kiri, mulai menolak narasi lama.
Label antisemitisme tak lagi mempan untuk membungkam kritik terhadap genosida. Waktunya telah berlalu. Dan seperti AS di Vietnam, Israel mungkin menang dalam tiap pertempuran, tapi mereka akan kalah dalam perang.