Seanteronews, Muis – Di balik sunyi rimbun kebun karet Desa Lamie, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, tumbuh mimpi seorang anak petani yang tak pernah berhenti menantang batas. Dialah Muis, anak keenam dari tujuh bersaudara, yang hidupnya diawali dengan jalanan tanah berlumpur dan dinginnya lantai rumah kayu, namun kini berdiri tegak sebagai seorang doktor mewakili harapan dari pelosok negeri.
Lantai Rumah, Buku Lusuh, dan Janji di Dalam Dada
Hari-hari kecil Muis diisi dengan aroma getah karet dan peluh sang ayah, Tgk. Burhanuddin, yang saban pagi menyadap pohon demi pohon. Ibunya, almarhumah Zainal, mengajarkan syukur dalam kesederhanaan, bahkan saat menu sehari-hari hanya nasi dan garam. Tak ada meja belajar, tak ada listrik terang, tapi Muis belajar di atas lantai dengan tekad sebagai penerang.
Ia sempat mengulang dua kali di sekolah dasar. Tak ada yang mudah. Delapan tahun ditempuh demi menyelesaikan SD. Namun bukan nilai yang ia kejar, melainkan masa depan. “Saya harus keluar dari rantai kemiskinan ini,” janji Muis dalam diam, setiap kali melihat ayahnya pulang berbalut lumpur.
Menapak Jalan Ilmu: Serabutan demi Sekolah
Tahun 2003, ia melanjutkan ke SMP. Tahun 2006 ke Madrasah Aliyah. Lalu pada 2009, ia kuliah tanpa beasiswa. Muis mengajar sebagai guru honorer, membantu di warung, jadi tukang fotokopi, apa saja-asal bisa bayar semester.
Ia sadar, untuk bertahan dalam dunia pendidikan, kerja keras harus jadi napas. Ia tak ingin menyerah pada nasib. Miskin boleh, tapi menyerah tidak.
Ditolak Berkali-kali, Tapi Tak Pernah Padam
Muis ingin lebih: menjadi doktor. Tapi beasiswa demi beasiswa menolaknya. BPPDN, Aceh Carong dosen, BAZNAS, Aceh Carong umum—semuanya gagal. Tapi satu hal yang tak pernah gagal: tekad Muis untuk mencoba lagi. “Saya kecewa, tapi tidak berhenti,” ucapnya lirih.
Tahun 2021, di tengah nyaris pupusnya asa, ia diterima sebagai penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Kemendikbudristek. Namanya lolos dari ribuan pelamar. Ia resmi diterima di Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Universitas Negeri Makassar. Saat itu, langit terasa lebih dekat.
Rindu, Lelah, dan Gelar Doktor
Tak ada lagi peluk ibu saat keberangkatan. Sang ibu telah lama pergi. Tapi ada pelukan istri tercinta, Ns. Ellyza Fazlylawati, dan senyum kecil sang anak, Azka Alfarizqi. Mereka adalah energi baru dalam perjuangan Muis di tanah rantau.
Hidup di Makassar bukan perkara mudah. Beasiswa cukup untuk hidup sederhana. Tapi ia bertahan, merawat rindunya, melawan lelah, hingga akhirnya, gelar Doktor resmi disematkan di depan namanya. Simbol Harapan dari Pelosok Negeri Muis kini menjadi: Doktor pertama dari Desa Lamie Doktor Ilmu Administrasi Publik pertama dari Kabupaten Nagan Raya.
Dosen pertama di Universitas Al Washliyah Darussalam Banda Aceh yang bergelar doktor dalam bidangnyaLebih dari sekadar gelar, Muis adalah lambang bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan. Ia membuktikan bahwa anak petani pun bisa berdiri di podium akademik, sejajar dengan siapa pun yang berani bermimpi.
Pesan dari Seorang Anak Kampung
“Saya hanyalah anak kampung biasa. Tapi saya percaya, anak petani pun bisa jadi doktor. Jika kamu punya mimpi, perjuangkan meski jalanmu berduri. Sebab Tuhan tidak buta pada usaha hamba-Nya.”
Cerita Muis bukan hanya tentang pencapaian akademik. Ini adalah kisah tentang keberanian, ketekunan, dan kepercayaan pada harapan. Di negeri yang masih penuh ketimpangan, Muis adalah cermin: bahwa dari kebun karet sekalipun, bisa tumbuh cahaya bagi masa depan.