Banda Aceh – Di era yang dipenuhi kompetisi dan gengsi, konsep tawadhu sering disalahartikan sebagai kelemahan atau ketidakpercayaan diri. Padahal, dalam ajaran Islam, tawadhu justru adalah kekuatan hati yang lahir dari kesadaran hakiki akan keagungan Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan oleh KH Nadirsyah Hosen, dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne, Australia, tawadhu bukan sekadar sikap lahiriah, melainkan cerminan kedalaman iman dan kematangan spiritual.
Apa Hakikat Tawadhu?
Tawadhu berasal dari kata wadha’a yang berarti merendahkan. Namun, maknanya jauh lebih dalam yaitu hati yang selalu bersujud, Seorang yang tawadhu merasa kecil di hadapan Allah, meskipun ia memiliki kelebihan di mata manusia.
Rendah Hati Tanpa Hilang Martabat: Tawadhu bukan merendahkan diri secara buta, tetapi mengakui bahwa segala kelebihan datang dari Allah.
Anti Kesombongan: Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.” (HR Muslim).
Tawadhu dalam Pandangan KH Nadirsyah Hosen: Sebagai seorang cendekiawan yang mengajar di kampus ternama di Australia, KH Nadirsyah Hosen menekankan bahwa tawadhu adalah pondasi akhlak mulia. Dalam salah satu tulisannya, beliau menyatakan: “Tawadhu itu seperti akar pohon; semakin dalam ia menghujam, semakin kokoh dan subur pohon itu tumbuh. Ilmu, hikmah, dan kasih sayang hanya bisa tumbuh subur di hati yang tawadhu.”
Beliau juga mengingatkan bahwa tawadhu tidak identik dengan kemiskinan atau ketidakberdayaan. Seorang profesor, ulama, atau pejabat tetap bisa tawadhu asalkan tidak terlena oleh jabatan dan ilmunya. Manfaat Tawadhu dalam Kehidupan:
- Pintu Ilmu – Hati yang tawadhu mudah menerima pengetahuan karena tidak merasa paling tahu.
- Mendatangkan Hikmah – Allah akan mengangkat derajat orang yang rendah hati (QS Al-Qasas: 83).
- Mempererat Persaudaraan – Sikap tawadhu menghilangkan jarak antara manusia.
- Mendapatkan Kasih Sayang Allah – Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Tantangannya di Era Modern, Di tengah budaya self-promotion dan gengsi sosial media, tawadhu menjadi ujian tersendiri. Banyak orang terjebak dalam pamer ilmu dan amal (riya’), sikap merasa lebih baik (ujub), merendahkan orang lain (takabbur)KH Nadirsyah Hosen mengingatkan, “Tawadhu itu bukan tentang seberapa rendah kita di mata manusia, tapi seberapa besar kita mengakui keagungan Allah.”
Tawadhu bukan kelemahan, melainkan kekuatan hati yang membebaskan manusia dari belenggu ego. Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Marilah kita melatih hati untuk selalu bersujud—baik dalam ibadah maupun interaksi sosial, agar hidup penuh berkah dan makna. Hadis Nabi Muhammad SAW :“Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim)