Jakarta – Pemerintah Indonesia memiliki metode dan standar tersendiri dalam mengukur tingkat kemiskinan, berbeda dengan yang digunakan oleh Bank Dunia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan angka kemiskinan lebih rendah dibandingkan laporan internasional.
“Pemerintah punya standar pengukuran sendiri, dan angka kemiskinan kami berdasarkan perhitungan BPS,” jelas Airlangga di kantornya, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Perbedaan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
BPS mencatat garis kemiskinan per September 2024 sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.000 per hari. Sementara itu, Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook April 2025 menggunakan standar US$6,85 per kapita per hari (setara Rp115.080/hari), mengacu pada kriteria negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income).
Dengan patokan tersebut, Bank Dunia memperkirakan 60,3% penduduk Indonesia (171,91 juta jiwa) masih tergolong miskin pada 2024. Namun, angka ini turun dibandingkan 2023 (61,8%) dan diproyeksikan terus menurun menjadi 58,7% (2025), 57,2% (2026), dan 55,5% (2027).
Pemerintah Pertahankan Metode BPS
Airlangga menyatakan bahwa perbedaan angka terjadi karena perbedaan metodologi. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), sementara Bank Dunia memakai standar global yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan negara.
“Kami tetap menggunakan data BPS karena lebih sesuai dengan kondisi riil masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Meski demikian, pemerintah mengakui pentingnya upaya percepatan penurunan kemiskinan, terutama melalui program bantuan sosial, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan produktivitas ekonomi.
Analisis:
Perdebatan mengenai standar kemiskinan ini menunjukkan kompleksitas pengukuran kemiskinan di tingkat global versus nasional. Sementara Bank Dunia melihat dari perspektif daya beli internasional, BPS lebih fokus pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar di dalam negeri. Kedua metode memiliki kelebihan dan kelemahan, namun yang terpenting adalah bagaimana kebijakan pemerintah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata.
Kesimpulan:
Pemerintah Indonesia tetap berpegang pada data BPS dalam menilai tingkat kemiskinan, meski Bank Dunia memberikan gambaran berbeda. Langkah strategis seperti program bansos, UMKM, dan penciptaan lapangan kerja diharapkan dapat terus menekan angka kemiskinan sesuai target.